Sabtu, 25 September 2010

Ketakutanku

Maafkan aku,
Tidak tahu mengapa ku begini
Seolah tak yakin akan dunia
Jeli dan tajam ku awasi
Acuh akan pribadi  hak orang lain
Aku orang jahat?
Mungkin benar begitu


Ketakutan membentukku seperti ini
Sanggupkah aku berbagi?
Mungkin untuk perkara materi tak apa
Namun jika perkara hati, ku tak janji
Jangan rampas yang ku miliki
Ampun ya Tuhan..

Bagai anak kecil lugu
Mungkin itu yang ia pikir
Takut sang penyangga hati lari
Isak yang hadir bila terjadi
Rengek memaksa yang hilang tuk kembali

Sungguh aku serahkan pada-MU TUHAN
Sang penguasa hati manusia
Tak jarang semua pergi, namun pernah terjadi
Untuk ke sekian kali aku rela hilang
Akankah semua akan terulang?
Harapku tidak,
Izinkan ini yang pertama dan terakhir

Minggu, 12 September 2010

Sebuah Dialog Belaka

Catatan lampau mu itu sedikit mengiris hati
Entah harus bagaimana menyikapnya
Ini hal lumrah bukan?
Jangan salahkan aku atau dia, kawan..

Salahkan mereka!

Kenapa harus mereka yang disalahkan??
Apa salah mereka??

Karena mereka bukanlah aku dan dia.
Aku dan dia adalah kami.

Maaf aku bukan hakim,
aku tidak berhak menghakimi orang lain.


Dan kita tidak harus menjadi hakim,
untuk menentukan benar-salahnya.

Lalu kenapa harus menyalahkan mereka?
Bukankah itu seperti hakim??

"Seperti" berbeda dengan "menjadi"...

 Menjadi seperti hakim.
Aku tidak mau menjadi seperti hakim.
Akan saling menyakiti nantinya..

Maka jadilah seperti terdakwa.

Terdakwa yang disakiti hakim?
Mengapa?
Mengapa harus ada yang tersakiti?

Karena memang selalu ada yang dikorbankan.
Sebuah fitrah, sebuah sunnatulloh.

Jika aku harus menjadi seperti terdakwa,
maka orang patut dipersalahkan dari yang dimaksud dalam tulisan ini jadi adalah aku sendiri?
Malangnya diriku..
Lantas apa yang harus aku lakukan?


Bersabar, beristighfar, berjuang.
Semoga Allah memberikan kemudahan :)


Amin...
Terima kasih..
Sudah lebih tenang sekarang.. :)

September 12nd, 2010

Harapku

Apa ini rencana MU?
Entah harus marah, kecewa, atau menerima
Siapa dia, Tuhan?
Benarkah dia KAU persiapkan untukku?
Bagaimana kalau tidak??

Tuhan,
Aku telah mengukir harapan bersamanya
Kesungguhan justru membuatku ragu
Semakin besar kecocokan kami
Tapi semakin besar perbedaan dari kami
Jika dia bukan untukku,
Mengapa KAU pertemukan aku dengannya

Tuhan,

KAU bilang perbedaan itu lumrah
Tapi mengapa keadaan seolah membunuhku
Ini yang pertama ya Tuhan..
Ku ingin ini yang terakhir kalinya
Ku ingin KAU ridhoi kami untuk tetap bersama-MU
Izinkan aku bersamanya TUHAN..
Ku mohon..

Tuhan,
Jika kami KAU takdirkan bersama
Bantu aku yakinkan dunia
Bahwa dia memang KAU persiapkan untukku nanti..
Dan selamanya..
Ku mohon..

Apa Ini Mauku?

Angin mulai menderu-deru pipiku
Cahaya lampu menyilaukan pandanganku yang kosong ini
Aku termenung,
tepat di ujung jendela mobil itu
Lelah memang..
Tapi semua seolah tak ada jalan lain

Ini lah hidup yang ku pilih saat ini
Aku mulai jenuh dan bosan
Ribuan kerikil itu menyerbu benakku yang mulai rapuh
Tak berisi
Tak kokoh

Mata seolah terkatup menahan kerikil ini
Aku tak tahu adakah yang akan menopangku
Menyeka kerikil itu dari benakku
Otakku kini rapuh bagai remah-remah
Mungkin tak akan ada satu pun yang bisa
Karena memang terlalu usang

Angin semakin berhembus kencang
Menerbangkan angan ku

Yang ku lihat kini
Semua seolah tersenyum meledekku
Mungkin mereka tahu betapa bodohnya aku saat ini
Aku yang tak tahu harus menempatkan dimana diriku berada

Aku kesal
Sungguh kesal, dan mulai muak
Muak akan kebodohan ku
Dan betapa bodohnya lagi jika aku hanya diam

Aku tidak mau mati sia-sia tanpa karya
Aku juga tak mau mereka tahu atas ketidaktahuanku
Aku tidak mau membuang-buang sisa hidupku percuma

Tapi mengapa semua begitu terasa berat dijinjing?
Nafasku tersengal-sengal
Sungguh, aku ingin lari dari kehidupan yang sungguh tak pasti ini
Seperti menggantungkan harapan palsu

Aku hanya diam??
Aku tidak mau!!
Tapi kakiku tak sanggup menopangnya sendiri
Ada apa ini?
Tuhan,
Selemah itu kah aku??
Yang hanya bisa terbang kemana angin membawaku..
Aku sedih
Tuhan tolong  aku....

Aku??

Aku seperti menemukan identitas baru ku
Aku tak tahu mengapa orang berpikir aku begitu
Aku ingin aku yang dulu
Dengan sedikit ramuan baru
Mungkin ini semua ku pelajari dari mu
Sebuah puisi yang pandai menderu
Puisi ini tertuju padamu
Yang tak pernah ku tahu sejak kapan aku menyukai sajak-sajakmu..

Jumat, 10 September 2010

Sekarang Aku Percaya

Sekarang Aku Percaya

Dulu aku tidak percaya mereka..
Mereka yang bicara tentang indahnya masa remaja
Bicara tentang arti sebuah sejarah SMA
Bicara tentang dalamnya persahabatan

Dulu aku tidak percaya mereka..
Mereka yang bicara tentang menggantung mimpi
Bicara tentang menyusun setumpuk galeri
Bicara tentang mengikat ratusan naluri

Dulu aku tidak percaya mereka..
Mereka yang bicara tentang guru-guru yang tangguh
Bicara tentang aura bangunan yang kukuh
Bicara tentang semangat yang bergemuruh

Dulu aku tidak percaya mereka..
Mereka yang bicara tentang rekaman jutaan memori
Bicara tentang mengupas ribuan misteri
Bicara tentang merangkai cinta nan berseri

Dulu aku tidak percaya mereka..
Mereka yang bicara tentang ketakutan
Bicara tentang kesedihan akan kehilangan
Bicara tentang menyiasati sebuah kerinduan

Dulu aku tidak percaya..
Mereka yang bicara tentang manisnya gelombang asa
Bicara tentang kuatnya kaki menapaki pelangi cita-cita
Bicara tentang sejuknya embun air mata bahagia

Sekarang aku percaya..
Percaya indahnya rajutan masa remaja
Percaya akan guru-guru yang berjiwa muda nan bersahaja
Percaya akan ikatan naluri yang sudah terjaga
Percaya akan misteri yang menyulut kerinduan
Percaya akan mereka yang berkata-kata


'61-SHS'
Jakarta, 21 Juni 2010
01.45

Mahalnya Kenangan Itu

Aku terkenang gerbang itu..
Gerbang jalan menapaki meraba mimpi
Menerawang asa tak pasti
Menggantung harapan di hati

Aku terkenang ruang itu..
Ruang yang selalu ku jamah penuh misteri
Menimbun sisa isak tangis
Mengoyak duka hati

Aku terkenang jendela itu..
Jendela tempatku mengintai masa depan
Menyembunyikan keegoisan cinta
Menebar duka lara

Aku terkenang lorong itu..
Lorong perantara alunan bahagia
Menunggu kepastian secercah pelita
Merajut rahasia sederhana

Aku terkenang semangat itu..
Semangat penyulut amanat
Merangkul duka sahabat
Meracik ramuan mujarab

Semua tinggal kenangan
Kenangan yang kini sulit untuk diraba
Bagai sebuah goresan sketsa
Hanya terka yang tersisa

Dengan masa yang singkat
Kami beranjak setingkat
Meraih mimpi yang tergenggam erat
Membayar mahalnya asa yang sempat tergurat

Berjuanglah sahabat
Jangan biarkan harapan itu tersayat
Dobrak segala penghambat
Senyum bahagia itu yang ingin kami lihat

ROTATION - ARVORESCENT
Jakarta, June 13, 2010

Bagai Dua Sisi Sebuah Koin yang Bertolak Belakang

Siapa aku??
Aku selalu berucap,
..Aku adalah aku
Bukan yang lain
Biarkan aku menjalani hidup dengan caraku sendiri
Aku tak peduli apapun yang terjadi
Sekali pun debu itu merasuk ke ubun-ubunku..
Tapi, apa yang terjadi..
Sosokku seolah berubah
Bagai bunglon memang
Jujur, ini sulit bagiku..

Aneh..
Bagai dua sisi sebuah koin yang bertolak belakang
Semua begitu cepat berubah
Sangat cepat sekali
Mungkin aku berbeda aku bersama kau, atau kau, atau bahkan kau
Jujur aku tak suka dengan diriku yang sekarang ini
Bahkan aku bisa menangis sekencang-kencang
Aku tak sanggup melihat diriku sendiri
Semua seolah menjauh dariku
Mereka banyak yang tak nyaman akan kehadiranku
Haruskah aku menghilang dari dunia ini
Tak ada yang peduli pada ku
Benar-benar tak ada yang peduli

Heeiii.. Aku juga seperti kalian
Aku sedang mencari jati diriku
Bukan itu yang ku harapkan
Juga bukan ini..

Suara itu...

Suara itu muncul begitu tiba..
Saat aku menelusuri jalan padat ini
Aku tak tahu dari mana asalnya
Suara itu seperti pernah ku dengar sebelumnya
Bukan pekikan knalpot roda roda dua
Juga bukan suara klakson bersautan
Suara itu benar-benar membuatku merasa seluruh tubuh ini lemah
Bukan karena kesibukanku hari ini
Juga bukan karena kerak-kerak syaraf yang semakin mengering

Ku telusuri zona sekitar ku
Tak satu pun menyapa
Walau suara itu tak sering muncul lagi
Suara itu benar-benar membuat seluruh tubuhku terkulai
Aku tak mau dipermainkan oleh suara itu
Ku tunggu suara itu lagi
Namun, ia kian enggan muncul

Krrcuk Krrcuk
Seperti itulah analogi suara itu
Ku telisik suara itu
Ternyata..
Sumber dari suara itu adalah perutku
Suara itu seolah tanda bahwa perutku perlu diisi..


Hhahaha.. Garing yak? Siapa suruh Anda baca?

Beranda Saat Petang

Aku tak bisa lagi melihat sinar sang surya di berandaku
Ragaku tak menyatu lagi saat petang tiba
Hati ini kini penuh dengan angan dan harapan tak pasti
Pikiran ini seolah berisi onggokan masalah duniawi
Mata ini sayup-sayup terkulai lelah
Hanya pada rembulan lah kini ragaku bersapa
Terkadang bintang muncul penyanjung senyum

Wahai sang surya izinkan aku ini bertegur sapa denganmu
Saling membuka hati di saat petang tiba
Saling melepas penat di beranda
Sungguh aku rindukan petang itu kembali datang
Ketika kotoran-kotoran perusak syaraf ini rontok tidak perlahan di atas beranda

Hangatnya sudah tak bisa ku rasakan
Hanya angin malam yang dingin merasuk ke tulang-tulangku
Tak pernah lagi ku lihat cahayamu menembus berandaku
Hanya sorot-sorot lampu jalan yang tajam yang membuat mataku terbelalak

Ku korbankan kerinduan ini
Ku lalui masamu tidak di berandaku
Kaki ini memang seolah melekat erat untuk menemuimu
Walau habis kesabaran dan air mata mendera
Ku hardik mata ini agar tetap menilik siku tajam tersebut
Demi esensialisme, ku pertaruhkan semuanya
Walau habis masa petangku tanpa beranda itu

Indahnya Bintang Malam Hari

Suara-suara itu masih ku dengar
Suara bising mereka yang masih terbelalak matanya
Mungkin karena malam ini hari Sabtu
Dan aku pun begitu
Mataku masih terbelalak lebar
Tak akan ku sia-siakan suasana hening ini
Suasana yang jarang ku dapat di ibu kota

Jari ku terus saja menjamah huruf-huruf itu
Huruf demi huruf ku eja perlahan
Membentuk kata demi kata
Tak peduli suasana bising mereka yang jelas mengganggu
Ku hapus perlahan lalu ku tulis sekejap
Ku hapus lagi perlahan kemudian ku tulis lagi sekejap

Aku mencoba memilahnya
Memilah rangkaian memori yang terekam dulu
Agar menjadi sesuatu yang sangat bermakna nantinya

Jariku terhenti sejenak
Keraguan mulai merasuk sela-sela jariku
Hentikan atau lanjutkan?
Lanjutkan atau hentikan?
Aku takut ini akan sia-sia
Tak berarti apa-apa

Tidaakk..
Ini bukan diriku sebenarnya
Aku bukan orang yang menyerah pada keadaan
Ku ayunkan lagi jemariku gemulai
Ku hapus perlahan ku tulis sekejap
Ku hapus lagi lalu ku tulis lagi sekejap
Hingga mataku mulai terpejam
Dan ditemani bintang malam hari

Memancing Lagi

Berat
Di saat kondisi seperti ini
Tak ada seorang pun yang mengerti
Bahwa aku perlu dipapah
Langkahku benar-benar berat
Hatiku gundah
Ingin menangis
Benar-benar tidak ada yang mengerti

Sekelilingku justru mengejekku
Bukan ini yang ku inginkan
Aku mencoba menabur asa dan harapan
Agar kebaikan yang akan ku tuai nantinya
Tapi tak akan mungkin rasanya
Aku belum melihat tanda-tanda kebaikan itu
Aku seperti ingin berlari lagi ke belakang
Bahkan berseluncur

Jalan putih yang ku anggap baik tadinya
Justru membawa ku dalam keraguan
Ragu untuk terus tetap bertahan di jalan ini
Kerikil-kerikil itu membesar
Aku sudah tidak bisa menyeka kerikil itu perlahan
Haruskah ku gunakan tongkatku yang sudah mulai rapuh ini?

Aku benar-benar sudah letih
Langkah ku terhenti
Ku biarkan nafasku tersengal-sengal
Keringat membasahi asa dan harapanku
Dan air mata menetes di pipiku

Aku tak tahu harus berbuat apa
Aku hanya berdoa pada-NYA
Agar DIA menjaga langkahku
Langkah yang sedang terhenti ini

Aku tidak tahu kapan aku melangkahkan kaki ku lagi
Nafasku masih tersengal-sengal
Keringat masih mengucur deras
Air mata tak henti menetes

Angin menyeka air mata ku
Seolah berkata, 'lanjutkan langkah mu!'
Aku ragu
Kaki ku tak ingin berdiri rasanya
Hah, benar-benar tak ingin masih disini

Hujan

Tik.. Tik.. Tik...
Awalnya suara itu yang muncul dari langit-langit rumah. Ku tengok sebentar. Jutaan pasukan kecil air datang dari langit. Membasahi seluruh benda yang ditemuinya. Namun, pasukan kecil itu hanya mampu membasahi setitik demi setitik. Hanya sedikit perubahan yang berarti.

Ssrrrhh.. Seolah marah akan sebutan pasukan kecil air, ia menambah quotanya berlipat-lipat. Tak peduli dengan keadaan yang terus mencercanya, ia basahi semuanya tanpa sisa.

Glegrrr.. Amarahnya memuncak. Ratusan kilat dan petir bersautan. Pasukan air yang makin membesar mulai marah akan cercaan-cercaan yang dilontarkan manusia-manusia hina itu. Manusia-manusia yang selaluu saja menyalahkannya sebagai bala bencana yang timbul. Tak sadarkah manusia-manusia hina itu akan puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan rahmat ALLAH yang dipapahnya dari langit yang sungguh tinggi tersebut. Manusia-manusia itu menyebutnya bencana. Aku baru sadar setiap tetes air itu harus memapah rahmat ALLAH dari langit. Rasanya aku ingin berteriak. Hheeeiii manusia-manusia, tidakkah kau lihat rahmat-rahmat yang dibawanya dari langit? Tak sepantasnya kau main hakim sendiri mengatakan perantara Rahmat ALLAH ini bencana! Tak sepantasnya!

Tak tahu kah kau beban yang dipanggul oleh jutaan rahmat ALLAH ini? Kasihan! Kasihan wahai manusia-manusia hina!

Dengarkanlah teriakan-teriakan marah hujan ini! 'Hai manusia-manusia.. Aku ini sudah lelah! Aku harus menopang jutaan rahmat ALLAH untuk kalian, namun tak sedikit pun aku mengeluh. Tapi mengapa kau seolah-olah mengelakkan kehadiranku? Aku ingin sekali ketika aku menapakkan kaki di bumi, aku melihat alam yang indah seperti ratusan tahun lalu. Aku ingin beristirahat, mengalirkan tubuhku sambil bersenda gurau dengan ikan-ikan dan burung'.

'Tapi. Apa yang ku lihat sekarang. Menapakkan kaki saja rasanya aku ragu. Tak seperti dulu. Aku hanya bisa tergenang tak mengalir di sini sampai aku mengeruh tak ada arti. Ikan-ikan dan burung-burung enggan mendekatiku. Aku malu. Tapi manusia-manusia itu tetap menyalahkan kami!'.

Miris. Mendengar tangisan hujan yang tersedu-sedu melihat tingkah kami yang katanya adalah makhluk berakal. Diantara kami masih ada yang belum sadar akan arti kehadiran gemercik air itu.

Seharusnya kami sadar. Tak akan hilang awan hitam itu sebelum hujan turun. Tak akan cantik bunga itu sebelum hujan turun. Tak akan terlihat indahnya pelangi sebelum hujan turun. Tak akan mengalir sungai-sungai lagi-lagi sebelum hujan turun. Tak banyak keinginan pasukan air itu. Mereka hanya ingin menyampaikan rahmat Allah yang dititipkan padanya tanpa cercaan-cercaan yang dilontarkan untuknya. Dan mereka ingin bermain-main dengan ikan-ikan dan burung-burung lagi.

Memancing

Memang tak ada hubungan antara judul catatan ini dengan maksud isi yang tersurat maupun tersirat dalam tulisan ini. Hahaha.. Apalah arti sebuah nama maupun judul. Toh, semuanya tidak akan merubah keadaan.

Situasi ini sudah mulai dirasakan sejak awal Agustus lalu. Situasi di mana aku harus meninggalkan kehidupanku tiga tahun belakangan dan memulainya dari titik nol. Sebagai penghuni baru mungkin terlalu sulit meniti jalan itu langkah demi langkah. Jalan itu semakin terjal ketika aku harus berpikir apakah ini jalanku. Apakah ini keinginanku? Apakah ini takdirku? Atau apakah ini malapetaka bagiku? Hal itu lah yang menjadi beban pikiranku bahkan sampai detik ini. Pertanyaan-pertanyaan itu selaluuu menghantui pikiran dan benakku. Bahkan terlintas dibenakku untuk melarikan diri dari semua ini. Hah, tapi buat apa? Apakah keputusan ini akan memberikan solusi yang baik bagiku nantinya? Tidaakk.. Hentikan semua pikiran negatif ini!

Hari demi hari titian jalan itu ku jajaki. Kerikil-kerikil penyangga jalan ku seka perlahan-lahan. Berat memang. Harus merubah semua kebiasaanku? Memang teramat sulit. Apakah semua penghuni baru disini merasakan hal serupa? Atau hanya aku saja? Hahaha.. Lucu memang jika terus memikirkan hal tidak penting ini.

Sekarang aku mulai belajar di sini. Belajar meniti jalan terjal dengan tongkat-tongkat sebagai tumpuan menjajaki jalan ini. Aku belajar untuk menjaga tongkat tersebut agar tidak patah di setiap tikungan-tikungan di jalan itu.

Aku menoleh ke belakang. Baru beberapa jengkal jalan yang ku jajaki. Tetapi mengapa terasa begitu melelahkan? Nafas mulai tersengal-sengal. Keringat sudah mulai membahasahi asa dan harapan. Haruskah aku kembali mundur di jalan yang baru ku jajaki beberapa jengkal ini sebelum semuanya terlambat? Dan memulai dari titik start yang lain? Huh, memang benar-benar menjadi tanda tanya besar. Tapi inilah hidup. Tak ada yang pasti. Dan tak ada yang tidak mungkin. Akan kah aku mendapatkan asa dan harapan baru di titik start di ujung sana yang belum tentu bisa aku jangkau? Yasudah lah, aku harus bertahan. Meski berat.

Aku bukan pujangga yang dengan mudahnya mengungkapkan isi hatinya dengan goresan-goresan kata-kata indah yang dapat menyejukkan hati para penikmatnya. Ya, aku hanyalah seorang wanita yang sedang mencari arti hidup yang sebenarnya di jalan ini. Ya, memang terkesan plin-plan dalam menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan konyol itu. Tapi ingat, aku bukan wanita rapuh. Wanita yang menyerah begitu saja dengan keadaan. Keadaan yang kian seolah menjebakku. Hati yang lain berkata, 'ingatlah ini bukan jebakan! Sependek itukah kau menilai semua itu?'. Sisi lain terus meragukan kebenaran tersebut. Tidaak.. Apa-apaan ini. Pikiran-pikiran buruk itu menghentikan langkahku sejenak. Tik..tak..tik..tak.. Aku berpikir sejenak. Yap. Sudah cukup. Aku harus melanjutkan langkah lemahku. Jalan yang penuh jalan berliku, yang mungkin akan memuncul keraguanku nantinya. Hahah, itu urusan nanti. ALLAH akan membimbingku.

Aku jajal sisi lain dari jalan ini. Ada sedikit perbedaan. Jalan ini mempermudah jalanku. Aku melihat sisi putih dari jalan ini. Yang seakan menegakkan asa dan harapanku. Di jalan inilah seolah impianku mulai terajut rapi meski baru seujung kuku. Memang terlalu singkat mengartikan tanda itu. Terlalu singkat. Tetapi tanda yang cukup singkat ini cukup menyejukkan asa dan harapan yang mulai terajut. Senyum di bibir ini mulai merekah, seindah bunga-bunga yang menghiasi jalan ini. Tapi aku takut jika sisi putih itu memudar menjadi abu-abu atau bahkan kemudian menghitam. Atau aku harus kembali berlari mundur ke belakang. Tidak. Aku tidak boleh menyia-nyiakan rajutan asa yang baru seujung kuku itu. Ini mungkin langkah awal menuju impianku.

Pelangi-pelangi kadang menghiasi jalan terjal itu. Tapi tak jarang awan hitam menutupi pelangi harapan itu. Huh, rasanya aku ingin terbang saja menghindari awan hitam tersebut untuk melihat indahnya pelangi harapan itu. Tapi rasanya mustahil. Bagaimana pun aku harus menunggu awan hitam itu yang pergi terbawa angin-angin harapan, bukan lari darinya. Itu semuanya tidak akan meluruskan tikungan jalan yang ku anggap terjal tadinya. Harapan itu masih ada. Ya.. Walaupun aku harus mundur berseluncur dan semakin berat rasa itu untuk mengulangnya dari awal. Aku harus percaya bahwa ini pasti jalan yang diberikan ALLAH, Sang PENGENDALI semuanya. Untuk meraih ujung jalan itu.

Tulisan ini hanya lah ungkapan sang penulis bagi pembacanya yang sedang bimbang.
Selamat menikmati!

Empty

Empty