Sabtu, 06 Agustus 2011

Perang

Oleh Larissa Huda*



Pasir berteriak diam di kaki surya senja yang tersenyum kikir

Bertelanjang lalu kemudian menyeruput asin air ombak menggulung karang pesisir

Aku. Menerkam debur buih di ujung ambang senja yang masih biru

Ada segulung jarring nila, ku siapkan menangkap peluru, akan aku pancung waktu



Sampiran laut angkat senapan berlaras dua siku

Di ujung yang hendak menerjang titik antara empat sudut mati

Sebuah sampan merah berdarah, bergetar tak mau bisu

Sebentar saja, aku ingin lari, pergi



Caping lonjong berkulit bambu, milik nelayan hampir layu ketakutan, menggeleng

Lihat! Rambut si tua ini tak mau lagi hitam berurai

Satu lagi, sosok tuanya bukan waktu yang celeng di dalam gelap kaleng

Dia! Di balik teluk pasi, itu yang kau cari



Kepala keras!

Jangan tembak dia!

Bodoh! Lihat, baru saja di lari!

Dihinanya kau dalam daun ranting berduri.

Tidak! Dia mati!



Dor!

Dua rimbun bakau mendengus nafasnya habis.

Utara kota mati saja sekejap. Ombak beringas makin kejam.

Tap. Tap. Tap.

Sial! Dia lolos angkuh.

Ini senja ke tiga ratus, eksekusi gagal lagi.

Dia. Dia lari lagi.









Bintara, 07 Agustus 2011

*Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta 2009

Sabtu, 14 Mei 2011

Terbang

Pada langit yang rona padam

Matahari berkesiap hanyut sebab petang kan hilang

Ada burung-burung mengepak sayap

Terbang membujur, melintang, kadang menyilang

Memburu sangkar usang di ranting-ranting



Di bawahnya ada aku terpekur diam

Menatap langit-langit yang kian sesak

Asap-asap menggelap menyemai kalap

Sedang yang lain meratap-ratap

Mungkin nanti aku mati pengap



Inginku pinjam sayap-sayap unggas

Untuk melayang-layang mengeruk angkasa

Menganyam namaku dengannya

Sampai pendulum waktu enyah berdetak

Kaku tak punya daya



Sampainya aku pada lapisan galaksi

Kan ku minta mikail jatuhkan air

Mengirim bulir-bulir yang menjelma dalam hujan

Menyisir keluh jutaan manusia

Untuk meredam amarah



Pada lapisan langit tertinggi

Aku meluncur kembali ke bumi

Di bawah rintik hujan yang mesra

Berbisik di telinganya: ku tunggu kau di surga

Sudah siap sebuah singgasana

Di relung jiwa yang berikar cinta sore itu

Tujuh cahaya lagi ku jemput kau

di atas rumput-rumput hijau basah





.L.H.

Bintara, 14 Mei 2011

Rabu, 27 April 2011

Romansa
















Hujan yang berbisik pada dingin malam: aku akan datang.

Ada sejumput hangat merekat di bawah tenda.

Kilat menyambar akar-akar gelap yang beku.

Cairlah siku-siku meraih pelosok sudut yang mencair di jemari.

Bersama angin menahan keliru yang menyerbu.

Pada daun-daun tersipu malu ia bercerita.

Aku bersama air itu akan terjun jatuh malam ini.

Gelap akan semakin kelu dan beku.

Dan aku ingin kau terjaga di balik tirai yang basah di laman.

Butir-butir itu sampaikan pesan: aku datang.

Berdansa bersama angin yang bedoa.

Lalu, tenggelam dalam romansa.


.L.H.
Rawamangun-Bintara, 22 April 2011

Cerita Berkisah

Selembar kertas tipis di sudut tembok yang baru saja dicat merah marun.
Satu dua lembar tersungkur di atas meja cendana berukir Jepara halusmu.
Bersama sebatang pena dan sedikit membercak pada lembar: penuh tinta.
Garis hitam, biru, dan merah melingkar, melengkung, menyudut, kemudian titik.
Sampai kapan garis tali-tali berakhir dengan dua butir aksaramu berpeluh tinta: aku tidak tahu.
Meraut senyum atau kecewa jadi penanda ceritamu siap dibaca.
Kisah yang bercerita lelaki renta cinta pada keindahan cahaya.
Yang masih saja mencuri arah dalam rongga jeruji besi dingin.
Dan menghardik tembok-tembok bisu sesak.
Secarik kertas ditarik lagi.
Lalu berbercak tinta lagi.
Sampai nafasmu berdengus beriringan habisnya warna-warna tinta yang mulai beku.

.L.H.
Rawamangun-Bintara, 08 April 2011

Jika Aku Mau..

Jika aku mau..
Aku sudah pergi sejauh-jauhnya
Meninggalkan segala risau dan kegalauan
Menyudutkan kepenatan yang menghujam
Menghakimi segala dedikasi yang lugu
Mencabut akar perih yang merintih
Lalu hilang..

Tetapi aku tidak mau..
Aku masih di sini,
Ingin ku semai lagi bibit keikhlasan
Di dasar hati yang mulai gersang
Ku tebus ucapku dulu,
Aku akan setia menyeka air matamu
Kita di sini..
Kita Diuji..
Dan kita Mengkaji..

Aku mau singkap telapak tanganmu,
Buka kelopak matamu
Lalu lihat..
Aku benar-benar masih di sampingmu
Ku siapkan bahu rapuhku
Untuk hapus lagi air matamu
Menyangga linang di bola matamu.

Aku mau berdiri di sini bukan tanpa arti
Akan setia menyeka air matamu
Membujukmu lukis lagi senyum itu kawan
Genggam tanganku..
Dekap aku semaumu..
Sekarang, nanti, hingga kemudian hari
Sampai tumit ini tak kuasa lagi bertumpu
Sampai kaki ini tak mampu lagi berdiri

:teruntuk sejawat kawanku



Bekasi, 19 Maret 2011

.L.H.

Jumat, 18 Maret 2011

Aku: Jingga

Duhai warna-warna yang menjelma di sana

:biru, merah muda, nila, kuning cerah, hijau toska

Ku yakin kau tak tersesat pagi ini

Yang singgah mencuri pandang pada mata 

Tak pula khianat pada hujan gerimis yang tipis

Andai saja mereka paham akan yang terlewat

Dan tak hanya menerka tawa

Kau tak sepi tapi menepi pada kata, sayang

Mantra mu kaya dan aku tersihir

Menyendiri sudah kau pilih sejak fajar tadi

Kesendirianmu tak akan berjangka lama

Jangan lupa sebab ku masih ada

Menjelma dalam warna jingga


Rawamangun, 13 Maret 2011
.L.H.

Fujiyama

Mentari masih setia pada sendu awan pucat
Menyapa daun-daun bergoyang di tepi sungai kering
Sesekali warnanya merona lalu gugur
Lalu merayu tulip yang hendak layu diam memudar

Padahal, langit rautkan kesedihan arak awan pasi
Biarkan hari bersandar pada kokohnya gunung-gunung salju
Sebab sakura hanyut dalam kengkuhan samudera
Sepucukpun tak lagi tampak

Dunia berkabung,
matahari timur semakin menyipit sembab
Samurai yang tak lagi bergelora pada pucak Fujiyama
Kita: berduka dan berdo'a

:untuk sahabat dan saudara kita di negeri fujiyama:

Bekasi, 12 Maret 2011
-LH-

Kamis, 24 Februari 2011

Singkatnya Gulita

Pujian malam yang tak lagi bersorak. Tak ada lagi mata-mata yang rela untuk terjaga memaksa. Walau sekedar ‘kan pecahkan senyap yang mendingin dan akan mengembun sebab sunyi sudah geram sikutnya bersembunyi. Mendongak mata tatap cahaya yang menusuk menembus rongga yang ternganga. Kepik cahaya masih setia dan berkenan berpesta bersama riuh bising jangkrik yang ejek mata-mata yang kiranya sedang memicing rapat. Andai pelangi tahu kunang-kunag yang ku sebut kepik tadi menari-nari, alangkah sungguh manis sekali. Pancing terus hujan yang basah, ritual tarian malam masih berlenggok gemulai. Mungkin surat undangan pesta malam itu belum juga sampai. Saat bulan yang mengintip, barulah kepik sombongkan sayap-sayap yang senantiasa syahdu berdenggung. Harap ingin koyak kerinduan gulita malam yang gundah. Pelangi tak kan muncul lagi selain musim ranum tiba. Manis nanti kan ejek indera kecapku.

Rinduku dalam gulita, pelangiku :)

Bukit Kepik-Sukabumi, 08/02/11
02:10

Takdir

Andai aku nanti enyah ditelan takdir.

Ketika darah tak lagi datang pada pintu nadi.

Vena yang tak diundang pompa jantung.

Adakah rindu yang akan kau kirim lewat tanah dan bebunga itu?

Saat tanah-tanah merah merekah pecah.

Nisan kan jaga aku sampai kau datang.



-LH-

Rawamangun, 21 Februari 2011

Gejolak Batin

Sekiranya jika kau tahu,
rintihmu: itu siksa batinku.
Sedang aku hanya duduk terpaku: diam.
Membatin bujuk Tuhan ambil deritamu.

Rawamangun, 21 Februari 2011

Tanya

Tanyaku dalam palung hati yang senantiasa bergejolak dengan punggung rasa. Adakah kiranya kau rasa hadirku? Relung jiwa sekali lagi lemparkan sejuta kata kerisauan.

Rawamangun, 21 Februari 2011

Abu

Ucapku sekan menguap, mengepul selesa nafas mulut menyembul. Seperti semburan asap batang sigaretmu. Sedang yang lain jadi abu.

Rawamangun, 21 Februari 2011

Ungkap

Kata cintaku bukan rekayasa sayang.
Sungguhpun aku tak ingin kau agaknya berjarak barang seinci dariku.

Rawamangun, 21 Februari 2011

Hilang

Aku yang merindu Tak ada kata manis lagi dari gurat penamu sayang.
Kau yang menjauh. Dan ronggaku muali luang.
Aku yang takut. Jika ruangku ini terbiasa dengan ketiadaan.
Kau yang tiada lagi padaku. Kau yang hilang

Rawamngun, 21 Februari 2011

Lembayung Jingga

Lembayung jingga, akankah abadi? Merengkuh awan-awan yang ditantang mercusuar. Selaksa asa kan setia: tak sia-sia.

Rawamangun, 15 Februari 2011

Secarik Senyum

Senyum yang hanya terlukis di atas secarik kertas.
Secarik lagi sengaja digores.
Masih kurang, ditambah secarik lagi.
Dalam kotak mata kehidupan, senyum kan benderang.
Walau gelap, tetap ada.

Rawamangun, 15 Februari 2011

Pelangi

Pelangi. Kau sedang pendarkan warna-warna di langit redup: ini. Padahal bulan tak undang hujan. Di dalam tembikar, ku panjatkan sejuta do'a padanya.

Rawamangun, 15 Februari 2011

Jumat, 18 Februari 2011

Risau

Surya sedang tak bersahabat denganku. Lebih cepat ia lari, sembunyi di balik pekatnya awan. Lalu ia usir aku dari tempat itu. Aku angkat kaki. Ia tak peduli. Ku bungkus segala risau dalam ransel rapuhku. Setidaknya tepat untuk sajian malam ini, begitu pikirku. Dengan sedikit penyedap amarah, dan sejumput luka. Kurang rasanya tanpa sesendok kecewa. Di dalam sebuah ransel, ku dekap erat. Supaya tak tumpah.

Tetapi, sepertinya tak hanya matahari yang enggan bersahaja malam ini. Rembulan buat ku geram. Diserbunya aku dengan seuntai senyum licik. Ia permainkan aku. Aku labuhkan diri ini di sebuah jalan layang. Di bawahnya, bulan berpesta. Rayakan kemalanganku. Ia ludahi aku dengan kembang api kebahagiannya. Aku tak suka. Tapi apa daya. Rahangku sudah linu. Hanya setitik mutiara lahir di ujung pelipis. Aku menangis. Makan malam hari ini akan mengikis tubuhku yang mulai menipis.

Rawanangun-Bintara
18 Februari 2011.

Minggu, 30 Januari 2011

Mati

Kelopak-kelopak bunga yang mulai memerah, menggoda.
Pijakkan kaki di ujung tangkai berduri.
(Baiknya) katupkan barang seinci,
teduhkan sari-sari hampir ranum memadu,
sembunyikan, lalu jaga, atau enyahkan sama sekali
sebab faset yang awas lebah siap sengat.
Hisap lalu lenyap
Layu, gugur tak bernilai, tiada guna: mati

Jakarta, 30 Januari 2011