Oleh Larissa Huda*
Pasir berteriak diam di kaki surya senja yang tersenyum kikir
Bertelanjang lalu kemudian menyeruput asin air ombak menggulung karang pesisir
Aku. Menerkam debur buih di ujung ambang senja yang masih biru
Ada segulung jarring nila, ku siapkan menangkap peluru, akan aku pancung waktu
Sampiran laut angkat senapan berlaras dua siku
Di ujung yang hendak menerjang titik antara empat sudut mati
Sebuah sampan merah berdarah, bergetar tak mau bisu
Sebentar saja, aku ingin lari, pergi
Caping lonjong berkulit bambu, milik nelayan hampir layu ketakutan, menggeleng
Lihat! Rambut si tua ini tak mau lagi hitam berurai
Satu lagi, sosok tuanya bukan waktu yang celeng di dalam gelap kaleng
Dia! Di balik teluk pasi, itu yang kau cari
Kepala keras!
Jangan tembak dia!
Bodoh! Lihat, baru saja di lari!
Dihinanya kau dalam daun ranting berduri.
Tidak! Dia mati!
Dor!
Dua rimbun bakau mendengus nafasnya habis.
Utara kota mati saja sekejap. Ombak beringas makin kejam.
Tap. Tap. Tap.
Sial! Dia lolos angkuh.
Ini senja ke tiga ratus, eksekusi gagal lagi.
Dia. Dia lari lagi.
Bintara, 07 Agustus 2011
*Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta 2009
ROMANSA
Sabtu, 06 Agustus 2011
Sabtu, 14 Mei 2011
Terbang
Pada langit yang rona padam
Matahari berkesiap hanyut sebab petang kan hilang
Ada burung-burung mengepak sayap
Terbang membujur, melintang, kadang menyilang
Memburu sangkar usang di ranting-ranting
Di bawahnya ada aku terpekur diam
Menatap langit-langit yang kian sesak
Asap-asap menggelap menyemai kalap
Sedang yang lain meratap-ratap
Mungkin nanti aku mati pengap
Inginku pinjam sayap-sayap unggas
Untuk melayang-layang mengeruk angkasa
Menganyam namaku dengannya
Sampai pendulum waktu enyah berdetak
Kaku tak punya daya
Sampainya aku pada lapisan galaksi
Kan ku minta mikail jatuhkan air
Mengirim bulir-bulir yang menjelma dalam hujan
Menyisir keluh jutaan manusia
Untuk meredam amarah
Pada lapisan langit tertinggi
Aku meluncur kembali ke bumi
Di bawah rintik hujan yang mesra
Berbisik di telinganya: ku tunggu kau di surga
Sudah siap sebuah singgasana
Di relung jiwa yang berikar cinta sore itu
Tujuh cahaya lagi ku jemput kau
di atas rumput-rumput hijau basah
.L.H.
Bintara, 14 Mei 2011
Matahari berkesiap hanyut sebab petang kan hilang
Ada burung-burung mengepak sayap
Terbang membujur, melintang, kadang menyilang
Memburu sangkar usang di ranting-ranting
Di bawahnya ada aku terpekur diam
Menatap langit-langit yang kian sesak
Asap-asap menggelap menyemai kalap
Sedang yang lain meratap-ratap
Mungkin nanti aku mati pengap
Inginku pinjam sayap-sayap unggas
Untuk melayang-layang mengeruk angkasa
Menganyam namaku dengannya
Sampai pendulum waktu enyah berdetak
Kaku tak punya daya
Sampainya aku pada lapisan galaksi
Kan ku minta mikail jatuhkan air
Mengirim bulir-bulir yang menjelma dalam hujan
Menyisir keluh jutaan manusia
Untuk meredam amarah
Pada lapisan langit tertinggi
Aku meluncur kembali ke bumi
Di bawah rintik hujan yang mesra
Berbisik di telinganya: ku tunggu kau di surga
Sudah siap sebuah singgasana
Di relung jiwa yang berikar cinta sore itu
Tujuh cahaya lagi ku jemput kau
di atas rumput-rumput hijau basah
.L.H.
Bintara, 14 Mei 2011
Rabu, 27 April 2011
Romansa
Hujan yang berbisik pada dingin malam: aku akan datang.
Ada sejumput hangat merekat di bawah tenda.
Kilat menyambar akar-akar gelap yang beku.
Cairlah siku-siku meraih pelosok sudut yang mencair di jemari.
Bersama angin menahan keliru yang menyerbu.
Pada daun-daun tersipu malu ia bercerita.
Aku bersama air itu akan terjun jatuh malam ini.
Gelap akan semakin kelu dan beku.
Dan aku ingin kau terjaga di balik tirai yang basah di laman.
Butir-butir itu sampaikan pesan: aku datang.
Berdansa bersama angin yang bedoa.
Lalu, tenggelam dalam romansa.
.L.H.
Rawamangun-Bintara, 22 April 2011
Cerita Berkisah
Selembar kertas tipis di sudut tembok yang baru saja dicat merah marun.
Satu dua lembar tersungkur di atas meja cendana berukir Jepara halusmu.
Bersama sebatang pena dan sedikit membercak pada lembar: penuh tinta.
Garis hitam, biru, dan merah melingkar, melengkung, menyudut, kemudian titik.
Sampai kapan garis tali-tali berakhir dengan dua butir aksaramu berpeluh tinta: aku tidak tahu.
Meraut senyum atau kecewa jadi penanda ceritamu siap dibaca.
Kisah yang bercerita lelaki renta cinta pada keindahan cahaya.
Yang masih saja mencuri arah dalam rongga jeruji besi dingin.
Dan menghardik tembok-tembok bisu sesak.
Secarik kertas ditarik lagi.
Lalu berbercak tinta lagi.
Sampai nafasmu berdengus beriringan habisnya warna-warna tinta yang mulai beku.
.L.H.
Rawamangun-Bintara, 08 April 2011
Satu dua lembar tersungkur di atas meja cendana berukir Jepara halusmu.
Bersama sebatang pena dan sedikit membercak pada lembar: penuh tinta.
Garis hitam, biru, dan merah melingkar, melengkung, menyudut, kemudian titik.
Sampai kapan garis tali-tali berakhir dengan dua butir aksaramu berpeluh tinta: aku tidak tahu.
Meraut senyum atau kecewa jadi penanda ceritamu siap dibaca.
Kisah yang bercerita lelaki renta cinta pada keindahan cahaya.
Yang masih saja mencuri arah dalam rongga jeruji besi dingin.
Dan menghardik tembok-tembok bisu sesak.
Secarik kertas ditarik lagi.
Lalu berbercak tinta lagi.
Sampai nafasmu berdengus beriringan habisnya warna-warna tinta yang mulai beku.
.L.H.
Rawamangun-Bintara, 08 April 2011
Jika Aku Mau..
Jika aku mau..
Aku sudah pergi sejauh-jauhnya
Meninggalkan segala risau dan kegalauan
Menyudutkan kepenatan yang menghujam
Menghakimi segala dedikasi yang lugu
Mencabut akar perih yang merintih
Lalu hilang..
Tetapi aku tidak mau..
Aku masih di sini,
Ingin ku semai lagi bibit keikhlasan
Di dasar hati yang mulai gersang
Ku tebus ucapku dulu,
Aku akan setia menyeka air matamu
Kita di sini..
Kita Diuji..
Dan kita Mengkaji..
Aku mau singkap telapak tanganmu,
Buka kelopak matamu
Lalu lihat..
Aku benar-benar masih di sampingmu
Ku siapkan bahu rapuhku
Untuk hapus lagi air matamu
Menyangga linang di bola matamu.
Aku mau berdiri di sini bukan tanpa arti
Akan setia menyeka air matamu
Membujukmu lukis lagi senyum itu kawan
Genggam tanganku..
Dekap aku semaumu..
Sekarang, nanti, hingga kemudian hari
Sampai tumit ini tak kuasa lagi bertumpu
Sampai kaki ini tak mampu lagi berdiri
:teruntuk sejawat kawanku
Bekasi, 19 Maret 2011
.L.H.
Aku sudah pergi sejauh-jauhnya
Meninggalkan segala risau dan kegalauan
Menyudutkan kepenatan yang menghujam
Menghakimi segala dedikasi yang lugu
Mencabut akar perih yang merintih
Lalu hilang..
Tetapi aku tidak mau..
Aku masih di sini,
Ingin ku semai lagi bibit keikhlasan
Di dasar hati yang mulai gersang
Ku tebus ucapku dulu,
Aku akan setia menyeka air matamu
Kita di sini..
Kita Diuji..
Dan kita Mengkaji..
Aku mau singkap telapak tanganmu,
Buka kelopak matamu
Lalu lihat..
Aku benar-benar masih di sampingmu
Ku siapkan bahu rapuhku
Untuk hapus lagi air matamu
Menyangga linang di bola matamu.
Aku mau berdiri di sini bukan tanpa arti
Akan setia menyeka air matamu
Membujukmu lukis lagi senyum itu kawan
Genggam tanganku..
Dekap aku semaumu..
Sekarang, nanti, hingga kemudian hari
Sampai tumit ini tak kuasa lagi bertumpu
Sampai kaki ini tak mampu lagi berdiri
:teruntuk sejawat kawanku
Bekasi, 19 Maret 2011
.L.H.
Jumat, 18 Maret 2011
Aku: Jingga
Duhai warna-warna yang menjelma di sana
:biru, merah muda, nila, kuning cerah, hijau toska
Ku yakin kau tak tersesat pagi ini
Yang singgah mencuri pandang pada mata
Tak pula khianat pada hujan gerimis yang tipis
Andai saja mereka paham akan yang terlewat
Dan tak hanya menerka tawa
Kau tak sepi tapi menepi pada kata, sayang
Mantra mu kaya dan aku tersihir
Menyendiri sudah kau pilih sejak fajar tadi
Kesendirianmu tak akan berjangka lama
Jangan lupa sebab ku masih ada
Menjelma dalam warna jingga
Rawamangun, 13 Maret 2011
.L.H.
Fujiyama
Mentari masih setia pada sendu awan pucat
Menyapa daun-daun bergoyang di tepi sungai kering
Sesekali warnanya merona lalu gugur
Lalu merayu tulip yang hendak layu diam memudar
Padahal, langit rautkan kesedihan arak awan pasi
Biarkan hari bersandar pada kokohnya gunung-gunung salju
Sebab sakura hanyut dalam kengkuhan samudera
Sepucukpun tak lagi tampak
Dunia berkabung,
matahari timur semakin menyipit sembab
Samurai yang tak lagi bergelora pada pucak Fujiyama
Kita: berduka dan berdo'a
:untuk sahabat dan saudara kita di negeri fujiyama:
Bekasi, 12 Maret 2011
-LH-
Menyapa daun-daun bergoyang di tepi sungai kering
Sesekali warnanya merona lalu gugur
Lalu merayu tulip yang hendak layu diam memudar
Padahal, langit rautkan kesedihan arak awan pasi
Biarkan hari bersandar pada kokohnya gunung-gunung salju
Sebab sakura hanyut dalam kengkuhan samudera
Sepucukpun tak lagi tampak
Dunia berkabung,
matahari timur semakin menyipit sembab
Samurai yang tak lagi bergelora pada pucak Fujiyama
Kita: berduka dan berdo'a
:untuk sahabat dan saudara kita di negeri fujiyama:
Bekasi, 12 Maret 2011
-LH-
Langganan:
Postingan (Atom)