Oleh Larissa Huda*
Pasir berteriak diam di kaki surya senja yang tersenyum kikir
Bertelanjang lalu kemudian menyeruput asin air ombak menggulung karang pesisir
Aku. Menerkam debur buih di ujung ambang senja yang masih biru
Ada segulung jarring nila, ku siapkan menangkap peluru, akan aku pancung waktu
Sampiran laut angkat senapan berlaras dua siku
Di ujung yang hendak menerjang titik antara empat sudut mati
Sebuah sampan merah berdarah, bergetar tak mau bisu
Sebentar saja, aku ingin lari, pergi
Caping lonjong berkulit bambu, milik nelayan hampir layu ketakutan, menggeleng
Lihat! Rambut si tua ini tak mau lagi hitam berurai
Satu lagi, sosok tuanya bukan waktu yang celeng di dalam gelap kaleng
Dia! Di balik teluk pasi, itu yang kau cari
Kepala keras!
Jangan tembak dia!
Bodoh! Lihat, baru saja di lari!
Dihinanya kau dalam daun ranting berduri.
Tidak! Dia mati!
Dor!
Dua rimbun bakau mendengus nafasnya habis.
Utara kota mati saja sekejap. Ombak beringas makin kejam.
Tap. Tap. Tap.
Sial! Dia lolos angkuh.
Ini senja ke tiga ratus, eksekusi gagal lagi.
Dia. Dia lari lagi.
Bintara, 07 Agustus 2011
*Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta 2009